Tradisi Saparan adalah salah satu warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai spiritual dan sosial di kalangan masyarakat Jawa, terutama di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tradisi ini memiliki hubungan erat dengan bulan Sapar dalam kalender Hijriah, yang diyakini sebagai waktu yang penuh dengan energi gaib dan sering dikaitkan dengan upaya untuk menolak bala atau nasib buruk serta memohon keselamatan.
Nama "Saparan" berasal dari kata "Sapar", bulan kedua dalam kalender Hijriah. Dalam tradisi Jawa, bulan ini dianggap sebagai periode di mana masyarakat perlu melakukan berbagai ritual dan upacara sebagai bentuk permohonan kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan keselamatan, kesejahteraan, dan dijauhkan dari marabahaya. Kepercayaan ini berkembang dari keyakinan bahwa bulan Sapar memiliki konotasi negatif atau potensi munculnya kesialan, sehingga perlu diantisipasi dengan ritual-ritual khusus.
Salah satu bentuk paling umum dari tradisi Saparan adalah upacara selamatan. Selamatan ini melibatkan doa bersama, penyajian sesajen, dan pelaksanaan prosesi adat lainnya. Selamatan tersebut dilakukan sebagai ungkapan syukur atas berkah yang telah diterima dan sebagai permohonan agar dijauhkan dari segala bentuk musibah dan penyakit.
Selain berfungsi sebagai ritual spiritual, tradisi Saparan juga berperan penting dalam pelestarian budaya lokal. Masyarakat yang terlibat dalam persiapan dan pelaksanaan tradisi ini secara langsung mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi muda. Melalui kegiatan gotong royong dalam mempersiapkan upacara, mereka diajarkan pentingnya kebersamaan dan kerja sama dalam komunitas
Tradisi ini juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin menyaksikan secara langsung bagaimana kearifan lokal masih dipraktikkan di tengah arus modernisasi. Dengan demikian, Saparan tidak hanya memperkuat identitas budaya lokal, tetapi juga menjadi sumber daya ekonomi melalui sektor pariwisata.